Rabu, 09 Januari 2013

Penyebab Buruh Tidak Sejahtera

Tuntutan buruh dinilai pengusaha terlalu tinggi 


Kapan buruh merasa sejahtera karena upahnya? Selama ini, buruh selalu ditempatkan sebagai pihak yang daya tawarnya rendah sedangkan pengusaha sebaliknya.

Tercapainya penetapan upah buruh selalu menempuh jalan berliku. Unjuk rasa berkali-kali dengan pengerahan anggota sampai puluhan ribu digelar untuk menekankan tuntutan kenaikan upah. Tentu aksi-aksi seperti itu tidak disukai kalangan pengusaha karena produksi menjadi terhenti.
Belum ditemukan penyebabnya, mengapa sengketa besaran upah antara buruh dan pengusaha di Indonesia tidak bisa diselesaikan secara tuntas. Memang beberapa kali tercapai kesepakatan, namun sifatnya hanya sementara yang mengakibatkan kerugian pada semua pihak.
Beberapa waktu lalu, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengesahkan penetapan upah minimum kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat melalui SK Gubernur Nomor 561/Kep.1405-Bansos/2012 di Bandung, Rabu malam (21/11), namun Aspindo menolaknya karena menilai cacat hukum. Alasannya, ada beberapa daerah yang merevisi nilai ajuan UMK tanpa menempuh prosedur yang benar.
Penetapan upah yang pada awalnya sudah disepakati berbagai pihak termasuk Dewan Pengupahan setempat, ternyata tidak bisa diterima oleh kalangan pengusaha, terutama kelas menengah ke bawah. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Aspindo) telah sepakat untuk menempuh jalur hukum, sedangkan kalangan buruh meminta agar proses tersebut tidak ditempuh oleh pengusaha. Jika pengusaha menempuh prosedur hukum maka masalah penetapan upah buruh akan menjadi berkepanjangan.   
Dalam penetapan upah buruh, pemerintah berperan  untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak agar terakomodasikan. Namun, selama ini pemerintah terkesan tidak netral dan justru ikut bermain. Terbukti dengan adanya sisi gelap yang tetap dibiarkan, yang oleh pengusaha biasa disebut biaya siluman dimana pengusaha harus membayar biaya-biaya tambahan kepada berbagai pihak, terutama saat menyelesaikan perizinan. 
Jika pemerintah bersikap tegas menghilangkan biaya-biaya siluman yang jumlahnya tidak sedikit, tentu persoalan upah buruh tidak akan rumit seperti sekarang. Pemerintah boleh menepis adanya biaya siluman ini, namun para pengusaha tentu mempunyai bukti-buktinya.
Pemerintah tidak boleh membiarkan sengketa upah buruh setiap waktu bisa dijadikan alasan terjadinya unjuk rasa buruh yang jelas-jelas merugikan semua pihak. Sebenarnya tidak ada hal baru dalam sengketa upah buruh. Tuntutan buruh dinilai pengusaha terlalu tinggi sehingga berat terpenuhi, sedangkan buruh merasa upah yang diterima selama ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
Iklim usaha yang aman dan nyaman menjadi hal yang tidak dapat ditawar lagi, hal ini hanya dapat dicapai dengan menerbitkan undang-undang perburuhan yang tidak asal jadi. Mungkinkah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar